Senin, 04 April 2011

Pengembangan Buku IPS Kelas Lanjut

ARTIKEL JURNAL

PENGEMBANGAN BUKU AJAR IPS SD UNTUK MENINGKATKAN
KUALITAS PERKULIAHAN PADA MAHASISWA S1 PGSD FIP UNESA

Oleh:
Waspodo Tjipto Subroto
Suprayitno

ABSTRAK
Mata kuliah Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diprogram oleh mahasiswa S1 PGSD FIP Unesa. Sebagai salah satu mata kuliah bidang studi, Pendidikan IPS Kelas lanjut bertujuan untuk pemahaman dan keterampilan mahasiswa dalam menerapkan strategi pembelajaran ISP di Sekolah Dasar yang didasari prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik berikut kegiatan evaluasi hasil belajarnya.
Tujuan pengembangan ini adalah untuk mengembangkan Buku Ajar mata kuliah Pendidikan IPS Kelas Lanjut pada Jurusan S1 PGSD FIP Unesa beserta perangkat pembelajarannya berupa Garis-Garis Besar Rencana Perkuliahan (GBRP) berikut Satuan Acara Perkuliahan (SAP) selama satu semester. Pengembangan buku ajar tersebut dirinci dengan meliputi: mendeskripsikan kelayakan substantif, tingkat kesulitan, tingkat keterbacaan, dan efektifitas Buku Ajar Pendidikan IPS Kelas Lanjut pada Jurusan S1 PGSD FIP Unesa.
Bentuk produk pengembangan Buku Ajar mata kuliah Pendidikan IPS ini terdiri dari materi perkuliahan dan Garis-Garis Besar Rencana Perkuliahan serta Satuan Acara Perkuliahan. Ditulis dengan kertas ukuran A4 dengan huruf time new roman font 12, buku ajar ini terdiri dari 4 bab. Sedangkan GBRP dirinci setiap pertemuan yang terdiri kompetensi dasar, indikator ketercapaian dan pokok-pokok materi perkuliahan. Satuan Acara Perkuliahan dikembangkan menjadi 16 kali pertemuan, yang dalam setiap pertemuan terdiri dari kompetensi dasar, indikator ketercapaian, pokok-pokok materi perkuliahan, skenario perkuliahan dan evaluasi terkadap perkuliahan.
Jenis penelitian ini termasuk penelitian pengembangan dengan model 4D (four D) yang menurut Thiagarajan (1974) lebih terperinci dan sistimatis. Penelitian ini dilaksanakan pada mahasiswa S1 PGSD FIP Unesa, Angkatan 2008. Pengumpulan data menggunakan instrumen angket, lembar observasi dan tes hasil belajar. Analisis deskriptif dipergunakan untuk menyajikan data hasil angket dari pengguna buku ajar, dokumentasi tes hasil belajar dan portofolio tugas yang dikumpulkan mahasiswa.
Hasil pengembangan Buku Ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut menunjukkan peran cukup efektif dalam meningkatkan kualitas perkuliahan pada mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut. Demikian juga respon mahasiswa terhadap perangkat pembelajaran Buku Ajar cukup positif. Sedangkan respon dosen-dosen pengampu mata kuliah menganggap Buku Ajar yang dikembangkan ini bisa menjadi salah satu rujukan untuk mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut. Sebagai saran yang bisa dikemukakan dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini, mahasiswa yang menempuh mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut sebaiknya membaca buku ajar ini sebagai salah satu rujukannya.

Kata Kunci: Buku Ajar, Pembelajaran IPS SD, Kualitas perkuliahan
ABSTRACT

Subjects Education of Social Studies (IPS) is one subject which shall be programy the students of S1 PGSD Unesa FIP. As one of the subject areas of study, Education of social studies aims to further students understanding and skills in applying learning strategies social studies in Primary Schools based on the principles of learning following an educational evaluation of their learning activities
Social Studies is Education Subjects Advanced Class needs to be improved quality of lectures, because this course trying to equip students PGSD prowess and skills to implement social studies lessons grade 4, grade 5 and grade 6 in primary school. Development of learning elementary social studies grade 4, grade 5 and grade 6 need to be improved continuously, as to prepare students to face Final Examination in Elementary School.
This development objective is to develop courses Textbook IPS Education Classes Continue at the Department of S1 PGSD Unesa FIP and learning tools in the form outlined by Course Plan (GBRP) following Lectures Events Unit (SAP) for one semester. Development of the textbook is specified with include: describing the feasibility of the substantive, level of difficulty, the level of legibility, and effectiveness of the IPS Education Textbook Advanced Class at the Departmentof S1 PGSD FIP Unesa.
Shape product development Textbook IPS Education course consists of lectures and educational material outlined plans Lectures, Lectures and Events Unit. Written with A4 size paper with Times New Roman font 12, this textbook consists 4 chapters. While detailed GBRP each meeting consisting basic competence, achievement indicators and key points of lecture material. Unit Events Lectures developed into 16 meetings, which in each meeting consists of basic competence, achievement indicators, and basic course materials, lectures and evaluation scenarios lectures.
This research includes development research with model 4D (four-D) which according to Thiagarajan (1974) more detailed and systematic. The research was conducted on students S1 PGSD FIP Unesa, Force 2008. Collecting data using instruments questionnaires, observation sheets and test results of learning. The data were analyzed using qualitative descriptive analysis technique. Deskripstif analysis is used to present data from user questionnaire results textbook, study and documentation of test results collected student work portfolios of learning social studies education. .
The result of the development of Elementary School Textbook IPS Education Classes Continue showed quite effective role in improving the quality of lectures on elementary social studies education courses Advanced Class. Similarly, student responses to learning device Textbook quite positive. While the response lecturers pengampu subjects developed Textbook assume could be one of reference for elementary social studies education courses Advanced Class. About the constraints faced in understanding the IPS Education Elementary Textbook Advanced Class, students generally expressed no problems were significant. As a suggestion which could be put forward in the development of this learning tool, students who take courses IPS Elementary Education Class Information should read this textbook as a reference.

Keyword: Learning book, Social Studies, Quality of learning




A. Pendahuluan
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran inti di Sekolah Dasar (SD) yang telah dimasukkan pada Kurikulum tahun 1975, pada hakekatnya bertujuan untuk membelajarkan ilmu-ilmu sosial pada siswa level pendidikan dasar. Ilmu-ilmu sosial (sejarah, geografi, sosiologi, antropologi, ekonomi, politik, hukum, psikologi massa) merupakan sumber atau akar pengembangan materi dan bahan pembelajaran IPS di SD. Sebagai disiplin ilmu murni, ilmu-ilmu sosial memiliki karakteristik yang sangat luas kajiannya, sangat rumit dan abstrak serta memiliki kompleksitas yang tinggi, sehingga tidak mudah bagi siswa, terutama siswa Sekolah Dasar untuk memahami bahan kajiannya. Agar siswa Sekolah Dasar bisa menerima dan memahami bahan kajian mata pelajaran IPS, pembelajarannya perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran IPS SD.
Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006), mata pelajaran IPS di SD bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan social.
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai social dan kemanusiaan
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat local, nasional dan global.
Untuk bisa mencapai tujuan tersebut, guru mata pelajaran IPS di SD perlu dibekali pemahaman dan keterampilan yang memadai untuk membelajarkan siswa menuju ketercapaian tujuan mata pelajaran IPS di SD. Selain menguasai bahan pembelajaran IPS SD, guru juga dituntut memiliki keterampilan (strategi pembelajaran) dalam menyampaikan bahan pembelajaran. Strategi pembelajaran ini meliputi: pengemasan bahan/materi pembelajaran, pendekatan pembelajaran, model-model pembelajaran, multi metode dan multi media pembelajaran.
Mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut merupakan mata kuliah wajib lulus yang harus ditempuh oleh mahasiswa Strata Satu (S1) pada Jurusan PGSD FIP Universitas Negeri Surabaya. Sebagai salah satu mata kuliah bidang studi di Jurusan PGSD FIP Unesa, mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut bertujuan untuk membekali pemahaman dan keterampilan mahasiswa dalam menerapkan strategi pembelajaran IPS SD Kelas Lanjut yang didasari prinsip-prinsip pengelolaan pembelajaran yang mendidik (Buku Pedoman Unesa, 2009:204).
Berdasarkan pengalaman dan hasil observasi peneliti terhadap pelaksanaan kegiatan perkuliahan IPS SD Kelas Lanjut di Jurusan PGSD FIP Unesa, masih terkendala oleh minimnya buku ajar yang bisa dirujuk oleh mahasiswa untuk memahami strategi pembelajaran IPS SD Kelas Lanjut.
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan permasalahan utama dalam penelitian ini, yaitu: “Bagaimanakah pengembangan efektifitas buku ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut, dalam meningkatkan kualitas perkuliahan IPS SD Kelas Lanjut pada mahasiswa S1 PGSD FIP Unesa?

B. Strategi Pembelajaran IPS
Proses pembelajaran di Sekolah Dasar merupakan tahapan pembelajaran yang mendasar bagi seorang anak, karena menjadi dasar bagi tahapan pembelajaran lanjutan seperti SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Maka pada tahapan dasar tersebut menuntut profesionalisme dan keterampilan guru yang berkualitas sesuai dengan tuntutan profesi. Kualitas dan profesionalisme ini amat ditentukan oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar guru Sekolah Dasar.
1. Pendekatan Pembelajaran dalam Pendidikan IPS
Pendekatan pembelajaran merupakan landasan sikap dan persepsi guru tentang bagaimana kegiatan pembelajaran akan dilaksanakan. Landasan sikap dan persepsi guru ini akan menjadi dasar bagi tindakan guru dalam melaksanakan aktifitas proses pembelajaran.
Pendekatan-pendekatan pembelajaran IPS yang bisa menjadi landasan sikap dan persepsi tersebut, sebagai berikut: (1) Pendekatan lingkungan (2) Pendekatan konsep (3) Pendekatan inkuiri (4) Pendekatan keterampilan proses (5) Pendekatan pemecahan masalah (6) Pendekatan induktif-deduktif (7) Pendekatan nilai (8) Pendekatan komunikatif
(9) Pendekatan kesejarahan (10) Pendekatan tematik
Paradigma pembelajaran konvensioanl yang selama ini dilaksanakan perlu dirubah dengan model pembelajaran yang inovatif, karena:
a. Jumlah informasi dan salurannya semakin banyak.
b. Tidak semua potensi siswa bisa dikembangkan dengan satu cara saja.
c. Orientasi target materi pembalajaran hanya untuk jangka pendek.
d. Proses pembelajaran seharusnya berangkat dari masalah nyata dalam kehidupan
sehari-hari.

2. Model-Model Pembelajaran dalam Pendidikan IPS
Untuk menumbuhkan motivasi dan partisipasi siswa perlu dikembangkan model-model pembelajaran IPS yang kreatif dan inovatif seperti: Pengajaran langsung (direct intruction), Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning), Pengajaran Berdasarkan Masalah (Problem Base Instruction), dan Belajar Melalui Penemuan (inkuiry).
3. Metode Pembelajaran dalam Pendidikan IPS
Metode merupakan salah satu komponen pembelajaran yang cukup berperanan selain komponen-komponen yang lain. Kegiatan pembelajaran yang berkualitas tentu akan mempertimbangkan penerapan metode sesuai dengan karakteristik topik kajian dan materi pelajaran yang akan disampaikan.
Macam-macam metode pembelajaran dalam IPS menurut Wahab (1997:186) antara lain sebagai berikut:
1. Metode ceramah
2. Metode Tanya jawab.
3. Metode diskusi
4. Metode simulasi
5. Metode penugasan
6. Metode permainan ( game )
7. Metode cerita
8. Metode karya wisata atau studi lapangan
9. Metode sosio drama
10.Metode bermain peran ( role playing )
11. Metode pameran ( eksposisi )
12. Metode proyek
Pemilihan dan penerapan metode pembelajaran perlu mempertimbangkan kriteria-kriteria sebagai berikut: (1) Sesuai dengan karakteristik topik kajian yang akan disampaikan (2) Ditunjang oleh sarana dan prasarana yang ada (3) Sesuai dengan latar belakang dan kebutuhan siswa.
4. Media pembelajaran dalam Pendidikan IPS
Setiap media pembelajaran memiliki karakteristik dan keunggulan masing-masing maka diharapkan guru dapat memilih dan menentukan macam-macam media sesuai dengan topik bahasan dan karakteristik materi pelajaran.
Menurut jenis-jenis media bisa dikelompokkan sebagai berikut:
1. Alat pengajaran.
Contohnya: papan tulis, papan pamer, mesin pengganda.
2. Media cetak.
Contohnya: Buku, majalah, surat kabar, jurnal, bulletin, pamflet dan lain-lain
3. Media visual.
Contohnya: Transfaransi, slide, film strip, grafik, chart, model dan realia, gambar,
foto, peta, globe dan lain-lain.
4. Media audio.
Contohnya: Tape recorder, pita suara, piringan hitam dan lain-lain
5. Media audio-visual
Contohnya: Televisi, VCD, film suara.
6. Masyarakat sebagai sumber belajar.
Contohnya: Nara sumber, tokoh masyarakat, dinamika kehidupan dalam masyarakat.

C. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Pengembangan perangkat pembelajaran adalah proses penterjemahan spesifikasi dari desain pembelajaran menjadi wujud fisik berupa perangkat pembelajaran yang tersaji dalam satu atau beberapa media. Seels dan Richey, (1994:35) mendeskripsikan pengembangan sebagai: (1) pesan yang terkandung di dalam isi, (2) strategi pembelajaran yang mengendalikan teori, dan (3) perwujudan dari teknologi berupa perangkat keras, perangkat lunak dan bahan-bahan media pembelajaran.
Gustafson (1996:27) menjelaskan bahwa desain pembelajaran merupakan proses yang lengkap mencakup: ” a) analyzing what is to be taught leanted, b) determining how it is to be taught, c) conducting tryout and revision, dan d) assessing whether learners do learn". Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam merancang pembelajaran perlu pengorganisasian isi bahan pembelaiaran seperti penataan isi, urutan isi, dan pemilihan isi pembelajaran.
D. Penelitian Pengembangan
Penelitian pengembangan dalam pendidikan lebih dikenal dengan sebutan education research and development (R&D) yaitu suatu proses dalam mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan (Thiagarajan, 1974:5). Produk-produk tersebut dapat berupa materi ajar, media, instrumen evaluasi, atau model pembelajaran. Penelitian pengembangan harus mendukung pemecahan masalah praktis dalam dunia pendidikan, khususnya masalah pembelajaran di kelas atau laboratorium.
Ada beberapa model yang dapat dijadikan acuan/panduan dalam pengembangan pembelajaran antara lain: (1) Model Kemp, (2) Model Dick and Carey, dan (3) Model Thiagarajan (Model 4-D).
1. Model Kemp
Pengembangan perangkat model Kemp memberi kesempatan kepada para pengembang untuk memulai dari komponen manapun. Menurut Kemp (1994:14), pengembangan perangkat pembelajaran terdiri atas sepuluh komponen, dengan rincian sebagai berikut.
1) Perkirakan kebutuhan belajar untuk merancang suatu program pengajaran, menyatakan tujuan, kendala, dan prioritas yang harus diketahui.
2) Pilih pokok bahasan yang dilaksanakan dan tunjukkan tujuan yang akan dicapai.
3) Teliti cara siswa yang harus mendapat perhatian selama perencanaan.
4) Tentukan isi pelajaran dan uraikan unsur tugas yang berkaitan dengan tujuan.
5) Nyatakan tujuan belajar yang akan dicapai dari isi pelajaran dan unsur tugas.
6) Rancang kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang akan dicapai
7) Pilih sejumlah media untuk mendukung kegiatan pengajaran.
8) Rincikan pelayanan yang diperlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan semua kegiatan dan untuk memperoleh atau membuat bahan.
9) Bersiap-siaplah untuk mengevaluasi hasil belajar dan hasil program.
10) Tentukan persiapan siswa untuk mempelajari pokok bahasan dengan memberikan uji awal kepada mereka.
2. Model Dick and Carey
Salah satu model rancangan pembelajaran dikemukakan disini yaitu model rancangan pembelajaran Dick dan Carey (1990). Model ini merupakan salah satu model desain pembelajaran dengan alur pengembangan dengan alur sbb:

















Bagan: Model Rancangan Pembelajaran Dick & Carrey

3. Model pembelajaran Four-D
Model four-D ini terdiri dari empat tahap yaitu pendefinisian (define), perancangan (design). pengembangan (develop), dan penyebaran (disseminate) (Thiagarajan dkk, 1974: 5). Secara umum diuraikan pada lembar berikut.
a. Define (pendefinisian). Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran yang diawali dengan analisis tujuan.
b. Design (perencanaan). Tujuan tahap ini adalah menyiapkan prototipe perangkat pembelajaran.
c. Develop (pengembangan). Tujuan tahap ini adalah unruk menghasilkan perangkat pembelaiaran yang sudah direlisi berdasarkan masukan dari pakar.
d. Disseminate (penyebaran). Tahap ini merupakan tahap penyusunan perangkat/model yang telah dikembangkan pada skala yang lebih luas misalnya kelas lain, di sekolah lain, dan oleh guru lain.
E. Metode Penelitian
1. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada mahasiswa Kelas A angkatan 2008 Jurusan S1 PGSD FIP Unesa Angkatan 2008.
2. Prosedur Penelitian
Pengembangan penelitian akan dilaksanakan sesuai dengan tahap-tahap yang mengacu pada pengembangan model pembelajaran dengan model 4-D (four D model) dari Thiagarajan, dkk (1974:5) dengan alur diagram pengembangan sbb:







































Diagram Alur Pengembangan Perangkat Pembelajaran
(Sumber: Thiagajaran, Semmel and Semmel (1974 : 5)
F. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan sesiai dengan tahap-tahap yang mengacu pada pengembangan model pembelajaran dengan model 4D (four D model) dari Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974:5) dengan alasan model ini lebih terperinci dan sistematis. Dalam setiap tahap yang dilaksanakan dalam model ini telah diuraikan dengan jelas kegiatan apa saja yang harus dilakukan pada tahap-tahap tersebut. Setiap tahap telah ditata sedemikian rupa untuk mempermudah peneliti dalam mengikuti langkah-langkah yang telah ditetapkan. Model 4-D ini terdiri dari tahap pendefinisian (define), tahap perancangan (design), tahap pengembangan (develop), dan tahap penyebaran (disseminate).

TABEL 4.5. NILAI TUGAS DAN UAS MATA KULIAH
PENDIDIKAN IPS KELAS LANJUT

Nomor absen Mahasiswa Nilai Tugas 1 Nilai Tugas 2 Nilai UAS Rata-rata Nilai Tugas 1 Rata-rata
Nilai Tugas 2 Rata-rata nilai UAS
1 65 70 65 68,37 71 72,62
2 70 70 70
3 70 75 75
4 70 75 70
5 65 70 70
6 75 75 75
7 65 70 65
8 65 70 65
9 65 65 70
10 70 75 80
11 70 75 75
12 70 75 75
13 65 75 75
14 65 70 70
15 70 70 75
16 60 65 65
17 65 70 70
18 60 65 65
19 65 70 70
20 70 75 75
21 70 70 70
22 70 75 75
23 65 70 70
24 65 75 65
25 65 75 75
26 60 70 75
27 60 70 65
28 60 75 80
29 70 80 75
30 70 80 80
31 70 75 75
32 80 80 80
33 75 75 75
34 80 80 75
35 70 75 75
36 75 80 75
37 70 75 75
38 70 75 75
39 75 80 75
40 75 80 75


2. Pembahasan Hasil Penelitian
Perkuliahan yang menarik perlu menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama terkait dengan model-model pembelajaran yang inovatif dengan didukung oleh pengembangan bahan pembelajaran yang aktual. Model perkuliahan yang dikembangkan perlu mengadopsi model pembelajaran yang menuntut mahasiswa aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga perkuliahan bisa berhasil secara optimal. Perkuliahan yang bercirikan PAKEM tersebut menjadi tuntutan jaman yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas perkuliahan. Upaya-upaya peningkatan kualitas perkuliahan dengan pengembangan bahan ajar menjadi tuntutan yang perlu diperhatikan. Selain buku ajar yang aktual, diperlukan pula perangkat pembelajaran yang terprogram secara rinci sehingga pertemuan demi pertemuan dalam satu smester dapat terlaksana sesuai dengan Satuan Acara Perkuliahan yang telah direncakan untuk pembelajaran.
Penggunaan buku ajar Pendidikan IPS Kelas Lanjut ini bisa meningkatkan kualitas perkuliahan, yang secara kuantitatif mahasiswa dapat mencapai nilai tugas-tugas kuliah dan nilai ujian tengah semester yang menunjukkan kategori baik. Efektifitas perkuliahan yang dilengkapi dengan buku ajar Pendidikan IPS Kelas Lanjut, bisa menunjukkan peningkatan dengan nilai rata-rata tugas dari 68,37 menjadi 71. Sedangkan nilai ujian akhir semester dalam mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut tercapai nilai rata-rata 72,62 berada pada kategori baik. Perangkat pembelajaran yang berupa buku ajar dan satuan acara perkuliahan pada mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut ini mempunyai makna yang menunjang peningkatan kualitas perkuliahan pada mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut.
Jurusan S1 PGSD FIP Unesa, sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mengemban tugas utama yaitu mendidik calon guru Sekolah Dasar yang profesional dengan harapan nantinya akan menunjang kualitas pendidikan, terutama di Sekolah Dasar. Untuk mengemban tugas tersebut, selain melaksanakan perkuliahan bagi calon guru Sekolah Dasar, Jurusan PGSD perlu mengembangkan berbagai kegiatan yang menunjang peningkatan kualitas perkuliahan, seperti: pengembangan perangkat pembelajaran, media pembelajaran yang berbasis teknologi, serta sarana prasarana lainnya yang menunjang kualitas profesional dosennya. Kegiatan pengembangan perangkat pembelajaran merupakan salah satu tugas utama dari seorang dosen dalam melaksanakan pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang dirancang secara profesional akan menjadi pedoman yang efektif dalam meningkatkan kualitas perkuliahan. Desain perangkat pembelajaran yang mengacu pada tujuan pembelajaran akan meningkatkan efektifitas dalam mencapai tujuan-tujuan perkuliahan.

G. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan pembahasannya tentang pengembangan buku ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengembangan Buku Ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut cukup berperan dalam menunjang peningkatan kualitas perkuliahan. Keberadaan buku ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut bisa menunjang efektifitas peningkatan kualitas pembelajaran, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
2. Respon mahasiswa terhadap perangkat pembelajaran Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut cukup bervariasi. Namun pada umumnya mahasiswa merespon baik, walaupun ada juga yang berpendapat cukup baik bahkan ada yang menilai sangat baik.
3. Respon dosen-dosen pengampu mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut bisa menerima cukup positif. Buku ajar tersebut dianggap bisa menunjang kualitas perkuliahan Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut, walaupun bukan satu-satunya sumber materi pembelajaran.
4. Dalam memahami materi buku ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut, mahasiswa tidak mengalami kendala yang cukup berarti. Pemahaman substansi materi dan istilah-istilah dalam gaya bahasanya juga tidak terlalu menyulitkan mahasiswa.
Saran-saran
Dari hasil simpulan penelitian di atas, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Buku Ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut merupakan perangkat pembelajaran yang bisa menjadi acuan bagi mahasiswa PGSD yang cukup berperan dalam menunjang peningkatan kualitas perkuliahan Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut di Jurusan PGSD FIP Unesa.
2. Berdasarkan respon mahasiswa terhadap perangkat pembelajaran Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut yang pada umumnya berpendapat baik, maka disarankan pada mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut untuk memahmi isi buku ajar tersebut.
3. Dosen teman sejawat pengampu mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut bisa menjadikan buku ajar tersebut sebagai salah satu rujukannya dalam upaya meningkatkan kualitas perkuliahan.
4. Mahasiswa hendaknya bisa memahami materi buku ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut tersebut secara lebih mendalam, agar bisa menjadi bekal pengetahuan dan keterampilannya sebagai guru IPS Sekolah Dasar yang profesional.



H. Daftar Pustaka

Banks, J. & Ambrose. 1995. Teaching Strategies for Social Studies. New York:
Macmillan Inc.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Tahun 2006. Jakarta: Ditjen Didasmen
Ditnaga, Dikti. 2008. Pengembangan dan Pengembangan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.
Jarolimek, J. 1993. Social Studies in Elementary Education. New York: MacMillan Publishshing Co Ltd.

Kemmis, S. Dan R. Mc. Taggart. 1988. The Action Research Planner. Melbourne, Victoria: Deakin University Press.
Muslimin Ibrahim. 2007. Pembelajaran Aktif, Inovatif, Efektif, Kreatif dan Menyenangkan. Surabaya: Lokakarya di Jurusan PGSD FIP Unesa.
Nu’man Somantri. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Peter H. Martorella. 1985. Elementary Social Studies. Boston: Little Brown Company
Schuncke. GM. 1988. Elementary Social Studies. Knowing, Doing, Caring. New York:
Macmillan Publishing
Slamawi, 1995/1996. Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Ditjen Dikti
Suhanaji dan Subroto, Waspodo Tjipto. 2003. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Surabaya: Insan Cendikia.
Subroto, Waspodo Tjipto. 2009. Bahan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Surabaya: Unesa University Press.
Sugiyono. 2007. Pengantar Penelitian Pengembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Thiagarajan, Semmel, Dorothy and Semmel. 1974. Instructional Development for Training Teacher of Exeptional Children. Bloomington : Indiana University.
TIM PLPG UNESA. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surabaya: University Press Unesa.









ARTIKEL JURNAL

PENGEMBANGAN BUKU AJAR IPS SD UNTUK MENINGKATKAN
KUALITAS PERKULIAHAN PADA MAHASISWA S1 PGSD FIP UNESA

Oleh:
Waspodo Tjipto Subroto
Suprayitno

ABSTRAK
Mata kuliah Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diprogram oleh mahasiswa S1 PGSD FIP Unesa. Sebagai salah satu mata kuliah bidang studi, Pendidikan IPS Kelas lanjut bertujuan untuk pemahaman dan keterampilan mahasiswa dalam menerapkan strategi pembelajaran ISP di Sekolah Dasar yang didasari prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik berikut kegiatan evaluasi hasil belajarnya.
Tujuan pengembangan ini adalah untuk mengembangkan Buku Ajar mata kuliah Pendidikan IPS Kelas Lanjut pada Jurusan S1 PGSD FIP Unesa beserta perangkat pembelajarannya berupa Garis-Garis Besar Rencana Perkuliahan (GBRP) berikut Satuan Acara Perkuliahan (SAP) selama satu semester. Pengembangan buku ajar tersebut dirinci dengan meliputi: mendeskripsikan kelayakan substantif, tingkat kesulitan, tingkat keterbacaan, dan efektifitas Buku Ajar Pendidikan IPS Kelas Lanjut pada Jurusan S1 PGSD FIP Unesa.
Bentuk produk pengembangan Buku Ajar mata kuliah Pendidikan IPS ini terdiri dari materi perkuliahan dan Garis-Garis Besar Rencana Perkuliahan serta Satuan Acara Perkuliahan. Ditulis dengan kertas ukuran A4 dengan huruf time new roman font 12, buku ajar ini terdiri dari 4 bab. Sedangkan GBRP dirinci setiap pertemuan yang terdiri kompetensi dasar, indikator ketercapaian dan pokok-pokok materi perkuliahan. Satuan Acara Perkuliahan dikembangkan menjadi 16 kali pertemuan, yang dalam setiap pertemuan terdiri dari kompetensi dasar, indikator ketercapaian, pokok-pokok materi perkuliahan, skenario perkuliahan dan evaluasi terkadap perkuliahan.
Jenis penelitian ini termasuk penelitian pengembangan dengan model 4D (four D) yang menurut Thiagarajan (1974) lebih terperinci dan sistimatis. Penelitian ini dilaksanakan pada mahasiswa S1 PGSD FIP Unesa, Angkatan 2008. Pengumpulan data menggunakan instrumen angket, lembar observasi dan tes hasil belajar. Analisis deskriptif dipergunakan untuk menyajikan data hasil angket dari pengguna buku ajar, dokumentasi tes hasil belajar dan portofolio tugas yang dikumpulkan mahasiswa.
Hasil pengembangan Buku Ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut menunjukkan peran cukup efektif dalam meningkatkan kualitas perkuliahan pada mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut. Demikian juga respon mahasiswa terhadap perangkat pembelajaran Buku Ajar cukup positif. Sedangkan respon dosen-dosen pengampu mata kuliah menganggap Buku Ajar yang dikembangkan ini bisa menjadi salah satu rujukan untuk mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut. Sebagai saran yang bisa dikemukakan dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini, mahasiswa yang menempuh mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut sebaiknya membaca buku ajar ini sebagai salah satu rujukannya.

Kata Kunci: Buku Ajar, Pembelajaran IPS SD, Kualitas perkuliahan
ABSTRACT

Subjects Education of Social Studies (IPS) is one subject which shall be programy the students of S1 PGSD Unesa FIP. As one of the subject areas of study, Education of social studies aims to further students understanding and skills in applying learning strategies social studies in Primary Schools based on the principles of learning following an educational evaluation of their learning activities
Social Studies is Education Subjects Advanced Class needs to be improved quality of lectures, because this course trying to equip students PGSD prowess and skills to implement social studies lessons grade 4, grade 5 and grade 6 in primary school. Development of learning elementary social studies grade 4, grade 5 and grade 6 need to be improved continuously, as to prepare students to face Final Examination in Elementary School.
This development objective is to develop courses Textbook IPS Education Classes Continue at the Department of S1 PGSD Unesa FIP and learning tools in the form outlined by Course Plan (GBRP) following Lectures Events Unit (SAP) for one semester. Development of the textbook is specified with include: describing the feasibility of the substantive, level of difficulty, the level of legibility, and effectiveness of the IPS Education Textbook Advanced Class at the Departmentof S1 PGSD FIP Unesa.
Shape product development Textbook IPS Education course consists of lectures and educational material outlined plans Lectures, Lectures and Events Unit. Written with A4 size paper with Times New Roman font 12, this textbook consists 4 chapters. While detailed GBRP each meeting consisting basic competence, achievement indicators and key points of lecture material. Unit Events Lectures developed into 16 meetings, which in each meeting consists of basic competence, achievement indicators, and basic course materials, lectures and evaluation scenarios lectures.
This research includes development research with model 4D (four-D) which according to Thiagarajan (1974) more detailed and systematic. The research was conducted on students S1 PGSD FIP Unesa, Force 2008. Collecting data using instruments questionnaires, observation sheets and test results of learning. The data were analyzed using qualitative descriptive analysis technique. Deskripstif analysis is used to present data from user questionnaire results textbook, study and documentation of test results collected student work portfolios of learning social studies education. .
The result of the development of Elementary School Textbook IPS Education Classes Continue showed quite effective role in improving the quality of lectures on elementary social studies education courses Advanced Class. Similarly, student responses to learning device Textbook quite positive. While the response lecturers pengampu subjects developed Textbook assume could be one of reference for elementary social studies education courses Advanced Class. About the constraints faced in understanding the IPS Education Elementary Textbook Advanced Class, students generally expressed no problems were significant. As a suggestion which could be put forward in the development of this learning tool, students who take courses IPS Elementary Education Class Information should read this textbook as a reference.

Keyword: Learning book, Social Studies, Quality of learning




A. Pendahuluan
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran inti di Sekolah Dasar (SD) yang telah dimasukkan pada Kurikulum tahun 1975, pada hakekatnya bertujuan untuk membelajarkan ilmu-ilmu sosial pada siswa level pendidikan dasar. Ilmu-ilmu sosial (sejarah, geografi, sosiologi, antropologi, ekonomi, politik, hukum, psikologi massa) merupakan sumber atau akar pengembangan materi dan bahan pembelajaran IPS di SD. Sebagai disiplin ilmu murni, ilmu-ilmu sosial memiliki karakteristik yang sangat luas kajiannya, sangat rumit dan abstrak serta memiliki kompleksitas yang tinggi, sehingga tidak mudah bagi siswa, terutama siswa Sekolah Dasar untuk memahami bahan kajiannya. Agar siswa Sekolah Dasar bisa menerima dan memahami bahan kajian mata pelajaran IPS, pembelajarannya perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran IPS SD.
Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006), mata pelajaran IPS di SD bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan social.
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai social dan kemanusiaan
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat local, nasional dan global.
Untuk bisa mencapai tujuan tersebut, guru mata pelajaran IPS di SD perlu dibekali pemahaman dan keterampilan yang memadai untuk membelajarkan siswa menuju ketercapaian tujuan mata pelajaran IPS di SD. Selain menguasai bahan pembelajaran IPS SD, guru juga dituntut memiliki keterampilan (strategi pembelajaran) dalam menyampaikan bahan pembelajaran. Strategi pembelajaran ini meliputi: pengemasan bahan/materi pembelajaran, pendekatan pembelajaran, model-model pembelajaran, multi metode dan multi media pembelajaran.
Mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut merupakan mata kuliah wajib lulus yang harus ditempuh oleh mahasiswa Strata Satu (S1) pada Jurusan PGSD FIP Universitas Negeri Surabaya. Sebagai salah satu mata kuliah bidang studi di Jurusan PGSD FIP Unesa, mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut bertujuan untuk membekali pemahaman dan keterampilan mahasiswa dalam menerapkan strategi pembelajaran IPS SD Kelas Lanjut yang didasari prinsip-prinsip pengelolaan pembelajaran yang mendidik (Buku Pedoman Unesa, 2009:204).
Berdasarkan pengalaman dan hasil observasi peneliti terhadap pelaksanaan kegiatan perkuliahan IPS SD Kelas Lanjut di Jurusan PGSD FIP Unesa, masih terkendala oleh minimnya buku ajar yang bisa dirujuk oleh mahasiswa untuk memahami strategi pembelajaran IPS SD Kelas Lanjut.
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan permasalahan utama dalam penelitian ini, yaitu: “Bagaimanakah pengembangan efektifitas buku ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut, dalam meningkatkan kualitas perkuliahan IPS SD Kelas Lanjut pada mahasiswa S1 PGSD FIP Unesa?

B. Strategi Pembelajaran IPS
Proses pembelajaran di Sekolah Dasar merupakan tahapan pembelajaran yang mendasar bagi seorang anak, karena menjadi dasar bagi tahapan pembelajaran lanjutan seperti SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Maka pada tahapan dasar tersebut menuntut profesionalisme dan keterampilan guru yang berkualitas sesuai dengan tuntutan profesi. Kualitas dan profesionalisme ini amat ditentukan oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar guru Sekolah Dasar.
1. Pendekatan Pembelajaran dalam Pendidikan IPS
Pendekatan pembelajaran merupakan landasan sikap dan persepsi guru tentang bagaimana kegiatan pembelajaran akan dilaksanakan. Landasan sikap dan persepsi guru ini akan menjadi dasar bagi tindakan guru dalam melaksanakan aktifitas proses pembelajaran.
Pendekatan-pendekatan pembelajaran IPS yang bisa menjadi landasan sikap dan persepsi tersebut, sebagai berikut: (1) Pendekatan lingkungan (2) Pendekatan konsep (3) Pendekatan inkuiri (4) Pendekatan keterampilan proses (5) Pendekatan pemecahan masalah (6) Pendekatan induktif-deduktif (7) Pendekatan nilai (8) Pendekatan komunikatif
(9) Pendekatan kesejarahan (10) Pendekatan tematik
Paradigma pembelajaran konvensioanl yang selama ini dilaksanakan perlu dirubah dengan model pembelajaran yang inovatif, karena:
a. Jumlah informasi dan salurannya semakin banyak.
b. Tidak semua potensi siswa bisa dikembangkan dengan satu cara saja.
c. Orientasi target materi pembalajaran hanya untuk jangka pendek.
d. Proses pembelajaran seharusnya berangkat dari masalah nyata dalam kehidupan
sehari-hari.

2. Model-Model Pembelajaran dalam Pendidikan IPS
Untuk menumbuhkan motivasi dan partisipasi siswa perlu dikembangkan model-model pembelajaran IPS yang kreatif dan inovatif seperti: Pengajaran langsung (direct intruction), Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning), Pengajaran Berdasarkan Masalah (Problem Base Instruction), dan Belajar Melalui Penemuan (inkuiry).
3. Metode Pembelajaran dalam Pendidikan IPS
Metode merupakan salah satu komponen pembelajaran yang cukup berperanan selain komponen-komponen yang lain. Kegiatan pembelajaran yang berkualitas tentu akan mempertimbangkan penerapan metode sesuai dengan karakteristik topik kajian dan materi pelajaran yang akan disampaikan.
Macam-macam metode pembelajaran dalam IPS menurut Wahab (1997:186) antara lain sebagai berikut:
1. Metode ceramah
2. Metode Tanya jawab.
3. Metode diskusi
4. Metode simulasi
5. Metode penugasan
6. Metode permainan ( game )
7. Metode cerita
8. Metode karya wisata atau studi lapangan
9. Metode sosio drama
10.Metode bermain peran ( role playing )
11. Metode pameran ( eksposisi )
12. Metode proyek
Pemilihan dan penerapan metode pembelajaran perlu mempertimbangkan kriteria-kriteria sebagai berikut: (1) Sesuai dengan karakteristik topik kajian yang akan disampaikan (2) Ditunjang oleh sarana dan prasarana yang ada (3) Sesuai dengan latar belakang dan kebutuhan siswa.
4. Media pembelajaran dalam Pendidikan IPS
Setiap media pembelajaran memiliki karakteristik dan keunggulan masing-masing maka diharapkan guru dapat memilih dan menentukan macam-macam media sesuai dengan topik bahasan dan karakteristik materi pelajaran.
Menurut jenis-jenis media bisa dikelompokkan sebagai berikut:
1. Alat pengajaran.
Contohnya: papan tulis, papan pamer, mesin pengganda.
2. Media cetak.
Contohnya: Buku, majalah, surat kabar, jurnal, bulletin, pamflet dan lain-lain
3. Media visual.
Contohnya: Transfaransi, slide, film strip, grafik, chart, model dan realia, gambar,
foto, peta, globe dan lain-lain.
4. Media audio.
Contohnya: Tape recorder, pita suara, piringan hitam dan lain-lain
5. Media audio-visual
Contohnya: Televisi, VCD, film suara.
6. Masyarakat sebagai sumber belajar.
Contohnya: Nara sumber, tokoh masyarakat, dinamika kehidupan dalam masyarakat.

C. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Pengembangan perangkat pembelajaran adalah proses penterjemahan spesifikasi dari desain pembelajaran menjadi wujud fisik berupa perangkat pembelajaran yang tersaji dalam satu atau beberapa media. Seels dan Richey, (1994:35) mendeskripsikan pengembangan sebagai: (1) pesan yang terkandung di dalam isi, (2) strategi pembelajaran yang mengendalikan teori, dan (3) perwujudan dari teknologi berupa perangkat keras, perangkat lunak dan bahan-bahan media pembelajaran.
Gustafson (1996:27) menjelaskan bahwa desain pembelajaran merupakan proses yang lengkap mencakup: ” a) analyzing what is to be taught leanted, b) determining how it is to be taught, c) conducting tryout and revision, dan d) assessing whether learners do learn". Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam merancang pembelajaran perlu pengorganisasian isi bahan pembelaiaran seperti penataan isi, urutan isi, dan pemilihan isi pembelajaran.
D. Penelitian Pengembangan
Penelitian pengembangan dalam pendidikan lebih dikenal dengan sebutan education research and development (R&D) yaitu suatu proses dalam mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan (Thiagarajan, 1974:5). Produk-produk tersebut dapat berupa materi ajar, media, instrumen evaluasi, atau model pembelajaran. Penelitian pengembangan harus mendukung pemecahan masalah praktis dalam dunia pendidikan, khususnya masalah pembelajaran di kelas atau laboratorium.
Ada beberapa model yang dapat dijadikan acuan/panduan dalam pengembangan pembelajaran antara lain: (1) Model Kemp, (2) Model Dick and Carey, dan (3) Model Thiagarajan (Model 4-D).
1. Model Kemp
Pengembangan perangkat model Kemp memberi kesempatan kepada para pengembang untuk memulai dari komponen manapun. Menurut Kemp (1994:14), pengembangan perangkat pembelajaran terdiri atas sepuluh komponen, dengan rincian sebagai berikut.
1) Perkirakan kebutuhan belajar untuk merancang suatu program pengajaran, menyatakan tujuan, kendala, dan prioritas yang harus diketahui.
2) Pilih pokok bahasan yang dilaksanakan dan tunjukkan tujuan yang akan dicapai.
3) Teliti cara siswa yang harus mendapat perhatian selama perencanaan.
4) Tentukan isi pelajaran dan uraikan unsur tugas yang berkaitan dengan tujuan.
5) Nyatakan tujuan belajar yang akan dicapai dari isi pelajaran dan unsur tugas.
6) Rancang kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang akan dicapai
7) Pilih sejumlah media untuk mendukung kegiatan pengajaran.
8) Rincikan pelayanan yang diperlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan semua kegiatan dan untuk memperoleh atau membuat bahan.
9) Bersiap-siaplah untuk mengevaluasi hasil belajar dan hasil program.
10) Tentukan persiapan siswa untuk mempelajari pokok bahasan dengan memberikan uji awal kepada mereka.
2. Model Dick and Carey
Salah satu model rancangan pembelajaran dikemukakan disini yaitu model rancangan pembelajaran Dick dan Carey (1990). Model ini merupakan salah satu model desain pembelajaran dengan alur pengembangan dengan alur sbb:

















Bagan: Model Rancangan Pembelajaran Dick & Carrey

3. Model pembelajaran Four-D
Model four-D ini terdiri dari empat tahap yaitu pendefinisian (define), perancangan (design). pengembangan (develop), dan penyebaran (disseminate) (Thiagarajan dkk, 1974: 5). Secara umum diuraikan pada lembar berikut.
a. Define (pendefinisian). Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran yang diawali dengan analisis tujuan.
b. Design (perencanaan). Tujuan tahap ini adalah menyiapkan prototipe perangkat pembelajaran.
c. Develop (pengembangan). Tujuan tahap ini adalah unruk menghasilkan perangkat pembelaiaran yang sudah direlisi berdasarkan masukan dari pakar.
d. Disseminate (penyebaran). Tahap ini merupakan tahap penyusunan perangkat/model yang telah dikembangkan pada skala yang lebih luas misalnya kelas lain, di sekolah lain, dan oleh guru lain.
E. Metode Penelitian
1. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada mahasiswa Kelas A angkatan 2008 Jurusan S1 PGSD FIP Unesa Angkatan 2008.
2. Prosedur Penelitian
Pengembangan penelitian akan dilaksanakan sesuai dengan tahap-tahap yang mengacu pada pengembangan model pembelajaran dengan model 4-D (four D model) dari Thiagarajan, dkk (1974:5) dengan alur diagram pengembangan sbb:







































Diagram Alur Pengembangan Perangkat Pembelajaran
(Sumber: Thiagajaran, Semmel and Semmel (1974 : 5)
F. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan sesiai dengan tahap-tahap yang mengacu pada pengembangan model pembelajaran dengan model 4D (four D model) dari Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974:5) dengan alasan model ini lebih terperinci dan sistematis. Dalam setiap tahap yang dilaksanakan dalam model ini telah diuraikan dengan jelas kegiatan apa saja yang harus dilakukan pada tahap-tahap tersebut. Setiap tahap telah ditata sedemikian rupa untuk mempermudah peneliti dalam mengikuti langkah-langkah yang telah ditetapkan. Model 4-D ini terdiri dari tahap pendefinisian (define), tahap perancangan (design), tahap pengembangan (develop), dan tahap penyebaran (disseminate).

TABEL 4.5. NILAI TUGAS DAN UAS MATA KULIAH
PENDIDIKAN IPS KELAS LANJUT

Nomor absen Mahasiswa Nilai Tugas 1 Nilai Tugas 2 Nilai UAS Rata-rata Nilai Tugas 1 Rata-rata
Nilai Tugas 2 Rata-rata nilai UAS
1 65 70 65 68,37 71 72,62
2 70 70 70
3 70 75 75
4 70 75 70
5 65 70 70
6 75 75 75
7 65 70 65
8 65 70 65
9 65 65 70
10 70 75 80
11 70 75 75
12 70 75 75
13 65 75 75
14 65 70 70
15 70 70 75
16 60 65 65
17 65 70 70
18 60 65 65
19 65 70 70
20 70 75 75
21 70 70 70
22 70 75 75
23 65 70 70
24 65 75 65
25 65 75 75
26 60 70 75
27 60 70 65
28 60 75 80
29 70 80 75
30 70 80 80
31 70 75 75
32 80 80 80
33 75 75 75
34 80 80 75
35 70 75 75
36 75 80 75
37 70 75 75
38 70 75 75
39 75 80 75
40 75 80 75


2. Pembahasan Hasil Penelitian
Perkuliahan yang menarik perlu menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama terkait dengan model-model pembelajaran yang inovatif dengan didukung oleh pengembangan bahan pembelajaran yang aktual. Model perkuliahan yang dikembangkan perlu mengadopsi model pembelajaran yang menuntut mahasiswa aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga perkuliahan bisa berhasil secara optimal. Perkuliahan yang bercirikan PAKEM tersebut menjadi tuntutan jaman yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas perkuliahan. Upaya-upaya peningkatan kualitas perkuliahan dengan pengembangan bahan ajar menjadi tuntutan yang perlu diperhatikan. Selain buku ajar yang aktual, diperlukan pula perangkat pembelajaran yang terprogram secara rinci sehingga pertemuan demi pertemuan dalam satu smester dapat terlaksana sesuai dengan Satuan Acara Perkuliahan yang telah direncakan untuk pembelajaran.
Penggunaan buku ajar Pendidikan IPS Kelas Lanjut ini bisa meningkatkan kualitas perkuliahan, yang secara kuantitatif mahasiswa dapat mencapai nilai tugas-tugas kuliah dan nilai ujian tengah semester yang menunjukkan kategori baik. Efektifitas perkuliahan yang dilengkapi dengan buku ajar Pendidikan IPS Kelas Lanjut, bisa menunjukkan peningkatan dengan nilai rata-rata tugas dari 68,37 menjadi 71. Sedangkan nilai ujian akhir semester dalam mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut tercapai nilai rata-rata 72,62 berada pada kategori baik. Perangkat pembelajaran yang berupa buku ajar dan satuan acara perkuliahan pada mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut ini mempunyai makna yang menunjang peningkatan kualitas perkuliahan pada mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut.
Jurusan S1 PGSD FIP Unesa, sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mengemban tugas utama yaitu mendidik calon guru Sekolah Dasar yang profesional dengan harapan nantinya akan menunjang kualitas pendidikan, terutama di Sekolah Dasar. Untuk mengemban tugas tersebut, selain melaksanakan perkuliahan bagi calon guru Sekolah Dasar, Jurusan PGSD perlu mengembangkan berbagai kegiatan yang menunjang peningkatan kualitas perkuliahan, seperti: pengembangan perangkat pembelajaran, media pembelajaran yang berbasis teknologi, serta sarana prasarana lainnya yang menunjang kualitas profesional dosennya. Kegiatan pengembangan perangkat pembelajaran merupakan salah satu tugas utama dari seorang dosen dalam melaksanakan pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang dirancang secara profesional akan menjadi pedoman yang efektif dalam meningkatkan kualitas perkuliahan. Desain perangkat pembelajaran yang mengacu pada tujuan pembelajaran akan meningkatkan efektifitas dalam mencapai tujuan-tujuan perkuliahan.

G. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan pembahasannya tentang pengembangan buku ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengembangan Buku Ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut cukup berperan dalam menunjang peningkatan kualitas perkuliahan. Keberadaan buku ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut bisa menunjang efektifitas peningkatan kualitas pembelajaran, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
2. Respon mahasiswa terhadap perangkat pembelajaran Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut cukup bervariasi. Namun pada umumnya mahasiswa merespon baik, walaupun ada juga yang berpendapat cukup baik bahkan ada yang menilai sangat baik.
3. Respon dosen-dosen pengampu mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut bisa menerima cukup positif. Buku ajar tersebut dianggap bisa menunjang kualitas perkuliahan Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut, walaupun bukan satu-satunya sumber materi pembelajaran.
4. Dalam memahami materi buku ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut, mahasiswa tidak mengalami kendala yang cukup berarti. Pemahaman substansi materi dan istilah-istilah dalam gaya bahasanya juga tidak terlalu menyulitkan mahasiswa.
Saran-saran
Dari hasil simpulan penelitian di atas, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Buku Ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut merupakan perangkat pembelajaran yang bisa menjadi acuan bagi mahasiswa PGSD yang cukup berperan dalam menunjang peningkatan kualitas perkuliahan Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut di Jurusan PGSD FIP Unesa.
2. Berdasarkan respon mahasiswa terhadap perangkat pembelajaran Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut yang pada umumnya berpendapat baik, maka disarankan pada mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut untuk memahmi isi buku ajar tersebut.
3. Dosen teman sejawat pengampu mata kuliah Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut bisa menjadikan buku ajar tersebut sebagai salah satu rujukannya dalam upaya meningkatkan kualitas perkuliahan.
4. Mahasiswa hendaknya bisa memahami materi buku ajar Pendidikan IPS SD Kelas Lanjut tersebut secara lebih mendalam, agar bisa menjadi bekal pengetahuan dan keterampilannya sebagai guru IPS Sekolah Dasar yang profesional.



H. Daftar Pustaka

Banks, J. & Ambrose. 1995. Teaching Strategies for Social Studies. New York:
Macmillan Inc.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Tahun 2006. Jakarta: Ditjen Didasmen
Ditnaga, Dikti. 2008. Pengembangan dan Pengembangan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.
Jarolimek, J. 1993. Social Studies in Elementary Education. New York: MacMillan Publishshing Co Ltd.

Kemmis, S. Dan R. Mc. Taggart. 1988. The Action Research Planner. Melbourne, Victoria: Deakin University Press.
Muslimin Ibrahim. 2007. Pembelajaran Aktif, Inovatif, Efektif, Kreatif dan Menyenangkan. Surabaya: Lokakarya di Jurusan PGSD FIP Unesa.
Nu’man Somantri. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Peter H. Martorella. 1985. Elementary Social Studies. Boston: Little Brown Company
Schuncke. GM. 1988. Elementary Social Studies. Knowing, Doing, Caring. New York:
Macmillan Publishing
Slamawi, 1995/1996. Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Ditjen Dikti
Suhanaji dan Subroto, Waspodo Tjipto. 2003. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Surabaya: Insan Cendikia.
Subroto, Waspodo Tjipto. 2009. Bahan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Surabaya: Unesa University Press.
Sugiyono. 2007. Pengantar Penelitian Pengembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Thiagarajan, Semmel, Dorothy and Semmel. 1974. Instructional Development for Training Teacher of Exeptional Children. Bloomington : Indiana University.
TIM PLPG UNESA. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surabaya: University Press Unesa.

Peranan PKn dalam Pendidikan Karakter Bangsa

PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DALAM MELESTARIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA
Oleh: Waspodo Tjipto Subroto



I. PENDAHULUAN
Pembangunan budaya dan karakter bangsa (cultural and character building) merupakan komitmen nasional yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Dalam berbagai dokumen sejarah politik dan ketatanegaraan, telah tercatat bahwa pembangunan budaya dan karakter bangsa merupakan salah satu kehendak para pendiri Negara (founding fathers) yang perlu dilaksanakan secara berkesinambungan, seperti misalnya teks yang terdapat dalam naskah Sumpah Pemuda, naskah Proklamasi, naskah Pembukaan UUD 1945, serta yang tercermin dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lainnya. Jadi pembangunan budaya dan karakter bangsa merupakan komitmen bersama bangsa Indonesia yang harus dilaksanakan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pembangunan budaya dan karakter bangsa akan semakin penting ketika bangsa Indonesia mulai memasuki era globalisasi yang penuh dengan tantangan. Pengaruh peradaban bangsa asing yang dibawa oleh arus globalisasi secara terus menerus mempengaruhi perilaku dan moralitas bangsa Indonesia. Ketika menjelang proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, hampir semua warga/bangsa Indonesia cenderung mengutamakan kepentingan bersama bangsa Indononesia daripada kepentingan pribadi dan kelompok, golongan, suku, agama, dan daerah. Semangat nasionalisme membara di dada sebagian besar bangsa Indonesia dengan konsentrasi satu tujuan yaitu merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Hal ini berbeda dengan kondisi terkini, dimnana budaya dan karakter bangsa lain banyak mempengaruhi karakter dan moralitas bangsa Indonesia, terutama sebagai dampak dari pengaruh modernisasi dan globalisasi.
Pembangunan budaya dan karakter bangsa pada hakikatnya merupakan pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai kompensasi dari masyarakat pluralis yang demokratis. Hak-hak warga sipil, hak asasi manusia dan hak keadilan sosial dikembangkan dalam suasana yang demokratis dalam masyarakat madani. Amandemen UUD 1945 semakin meningkatkan kehidupan demokratis yang menjamin pengakuan terhadap hak-hak warga sipil. Kebebasan individu dalam berinovasi dan berekspresi semakin terbuka lebar. Semangat reformasi yang didukung era globalisasi telah mendorong kemajuan dalam demokratisasi. Namun masa transisi dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang dikendalikan pemerintahan otoriter, menuju suasana kehidupan yang demokratis sebagaimana tuntutan semangat reformasi, telah memunculkan berbagai fenomena sosial yang mempengaruhi karakter dan moralitas warganegara. Budaya adiluhung (highcultural) dan karakter bangsa semakin terdistorsi oleh merebaknya pengaruh budaya global yang setiap hari dilihat dan didengar melalui berbagai saluran informasi. Etika berperilaku, sopan santun, keramah-tamahan, tolong menolong dan semangat kekeluargaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia tergusur oleh semangat demokratisasi yang seringkali diartikan sebagai kebebasan yang seluas-luasnya. Gaya hidup individualis, materialistis dan liberalis berkembang pesat seiring dengan merebaknya pengaruh globalisasi yang bersumber dari masyarakat barat. Kemajuan teknologi telah ………, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitalisasi cita sipil, khususnya melalui Pendidikan Kewarganegaraan.
Tantangan besar ke depan lainnya bagi bangsa Indonesia adalah menumbuhkan budaya dan kehidupan demokrasi (cultural democracy) pada berbagai komponen masyarakat, mulai dari elit politik, para birokrat dalam actor pemerintahan, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, kaum intelektual, hingga masyarakat luas. Pembentukan struktur pemerintahan actor yang demokratis tanpa diimbangi dengan tumbuhnya kehidupan demokrasi akan menjurus pada lahirnya kehidupan demokrasi yang semu (pseudo demokrasi) seperti yang pernah terjadi dalam actor pemerintahan Indonesia pada periode-periode sebelumnya. Oleh karena itu, pembinaan pemahaman akan prinsip-prinsip serta cara hidup yang demokratis adalah salah satu tantangan mendasar bagi actor pendidikan nasional dalam membentuk dan mengembangkan kehidupan actor dan masyarakat yang semakin demokratis.
Sistem pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 31 UUD 1945 beserta peraturan perundangan turunannya merupakan actor ent untuk mewujudkan komitmen nasional itu. Pada tataran kurikuler “pendidikan kewarganegaraan” baik substansi, proses pembelajaran, maupun efek sosio-kulturalnya sengaja dirancang dan diprogramkan untuk mewujudkan program-program pendidikan demokrasi yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk menumbuhkan karakter warga actor baik karakter privat, seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu; maupun karakter actor, misalnya kepedulian sebagai warga actor, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Winataputra dan Budimansyah,2007:192).
Di Indonesia, sekolah telah diberikan tanggung jawab dalam upaya pembangunan karakter sejak awal kemerdekaan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Sejak masuk dalam kurikulum sekolah mulai tahun 1962 sampai sekarang, Pendidikan Kewarganegaraan mengalami berbagai perubahan baik nama, orientasi, substansi, maupun pendekatan pembelajarannya. Pada kurun waktu berlakunya Kurikulum 1962 dikenal adanya mata pelajaran Civics (Kewarganegaraan) yang tujuan dan isinya berorientasi pada substansi Manipol dan USDEK yang sepenuhnya menggunakan pendekatan indoktrinasi politik. Pada kurun berlakunya Kurikulum 1968 dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya mencakup Civics (pengetahuan kewargaan actor), ilmu bumi Indonesia, dan sejarah Indonesia (untuk sekolah dasar); dan mata pelajaran Kewargaan Negara (untuk SLP dan SLA). Tujuan dan muatannya berorientasi pada substansi UUD 1945 dan TAP MPRS serta perundangan lainnya, dengan pendekatan pembelajaran yang juga masih bersifat indoktrinatif (Soepardo, dkk, 1960).
Pada kurun waktu berlakunya Kurikulum 1975 dan 1984 pada semua jenis dan jenjang pendidikan dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan pada Kurikulum 1994 dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Namanya memang berbeda, namun muatan dan orientasi PMP dan PPKn adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dengan pendekatan pembelajaran yang masih tetap didominasi oleh pendekatan indoktrinatif dengan modus transmisi nilai (value inculcation).
Tampaknya semua itu terjadi karena sekolah diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
Kini pada era reformasi pasca jatuhnya actor politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan nilai demokra¬si konstitusional yang lebih dinamis, dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Ini mestinya merupakan kebangkitan PKn untuk memposisikan dirinya sebagai actor penghela pembangunan karakter bangsa agar dapat menyiapkan warganegara muda yang memiliki karakter ke-Indonesiaan.

II. TANTANGAN PEMBANGUNAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA
Mari kita sejenak melihat berbagai gejolak dalam masyarakat kita pada beberapa tahun terakhir ini yang sangat memprihatinkan kita semua. Pertama, munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya kita yang berubah sedemikian drastis dan fantastis. Bangsa yang sebelumnya dikenal penyabar, ramah, penuh sopan santun dan pandai berbasa-basi sekonyong-konyong menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, membakar manusia hidup-hidup di keramaian kota, mutilasi, perang antar kampung dan suku dengan tingkat kekejaman yang sangat biadab. Bahkan yang lebih tragis, anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah pun sudah dapat saling bunuh di jalanan.
Kedua, dalam tiga dekade terakhir ini Indonesia tengah mengalami proses kehilangan, mulai dari kehilangan dalam aspek alam fisik, alam hayati, manusia, dan budaya. Dalam aspek alam fisik Indonesia telah kehilangan tanah subur kita. Luas tanah kritis di Indonesia pada tahun 2008 menurut perkiraan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Kehutanan Sosial, Departemen Kehutanan RI ditaksir 77,8 juta hektar. Tanah kritis ini diperkirakan akan terus bertambah satu juta hektar setiap tahunnya. Kita makin kehilangan hak guna tanah untuk perkebunan karena semakin banyaknya perusahaan asing yang bergerak di bidang perkebunan di Indonesia. Dalam aspek alam hayati, kita telah kehilangan hutan tropis. Indonesia sekarang dikenal sebagai negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia. Kita juga kehilangan kekayaan alam yang berasal dari laut yang diambil secara ilegal oleh penjarah dari dalam maupun luar negeri. Dalam aspek manusia, Indonesia kehilangan daya saing. Dalam World Competitivness Scoreboard tahun 2007, Indonesia menempati peringkat 54 dari 55 negara, turun dari peringkat 52 pada tahun 2006. Kita kehilangan niat untuk menaati hukum, bahkan menaati aturan yang paling sederhana yaitu aturan berlalu-lintas (Raka,2008:3). Dalam aspek budaya kita sudah kehilangan kecintaan terhadap kesenian tradisional sebagai warisan budaya adiluhung bangsa. Sebagian dari kita sudah kehilangan kejujuran dan rasa malu. Sudah sekian lamanya Indonesia mendapat predikat sebagai salah satu negara yang tingkat korupsinya sangat tinggi di dunia. Celakanya predikat ini tidak membuat kita merasa malu dan korupsi nyatanya terus berlangsung dengan modus operandi yang berubah-ubah. Kita kehilangan rasa ke-Indonesiaan kita. Tampaknya kita makin menonjolkan kepentingan daerah dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara. Kita kehilangan cita-cita bersama (in-group feeling) sebagai bangsa. Tiada lagi “Indonesian Dream” yang mengikat kita bersama, yang lebih menonjol adalah cita-cita golongan untuk mengalahkan golongan lain.
Indonesia sudah kehilangan banyak hal dan kehilangan ini bukan tidak mungkin masih dapat berlangsung. Jika demikian daftar kehilangan tentu akan semakin panjang. Pertanyaannya, mungkinkah ini tanda-tanda kita akan meluncur ke arah kehilangan segala-galanya sebagaimana tersirat dalam kata-kata bijak berikut ini:
You lose your wealth, you lose nothing
You lose your health, you lose something
You lose your character, you lose everything
Tentu saja kita tidak berharap seperti itu. Kita tidak menghendaki kehilangan karakter sebagai bangsa sehingga akan kehilangan segala-galanya. Oleh karena itu perlu mencermati dengan sungguh-sungguh apa sebenarnya yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak tersebut. Situasi yang bergolak serupa ini dapat dijelaskan secara sosiologis karena ini memiliki kaitan dengan struktur sosial dan sistem budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu. Mencoba membaca situasi reformasi ini terdapat beberapa gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini.
Pertama, suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa setelah tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” yang dimainkan Rezim Orde Baru ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki dimana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, pendidikan, dan sebagainya). Beberapa fakta dapat dikemukakan sebagai berikut.
 Kekuasaan politik formal dikuasai oleh sekelompok orang partai yang melalui Pemilu berhak “menguras” suara rakyat untuk memperoleh kursi di Parlemen. Melalui Parlemen kelompok ini berhak mengatasnamakan suara rakyat untuk melaksanakan agenda politik mereka sendiri yang sering kali berbeda dengan kepentingan nyata masyarakat.
 Kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi, maupun agama terdapat pada beberapa orang yang mampu menggerakan loyalitas dan emosi rakyat yang bila perlu menjadi tumbal untuk tujuan yang bagi mereka sendiri tidak jelas.
 Kekuasaan hukum formal dikuasai oleh para praktisi dan penegak hukum yang dengan kepiawaiannya dan/atau wewenangnya bisa mengatur siapa salah siapa benar.
 Sebagian besar uang di negeri ini berada di tangan sekelompok kecil orang yang justru sedang terpojok secara politis. Kelompok ini bisa membeli “kebenaran” melalui lembaga hukum, demo, pembentukan opini publik melalui media massa, bahkan kursi di Parlemen. Perhatikan misalnya kasus-kasus suap di DPR yang melibatkan sejumlah anggotanya, sebagian besar karena terjerat oleh permainan para “pembeli kebenaran” melalui upaya rekayasa kebijakan dan regulasi-regulasi tertentu untuk meloloskan hasrat hewaninya.
 Sekelompok kecil elit daerah memiliki wewenang formal maupun informal untuk mengatasnamakan aspirasi daerah demi kepentingan mereka sendiri. Kelompok inilah yang sering menyuarakan isu separatisme, federalisme, otonomi luas, bahkan isu putra daerah.
 Kelompok aktivis vokal (vocal minority) yang sering melakukan aksi-aksi demo dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat banyak dengan cara-cara yang sering kali justru memuakkan rakyat kebanyakan (main hakim sendiri, melakukan tindak kekerasan, sweeping, membenturkan massa dengan aparat keamanan dan sebagainya).
Tampaknya semua simbol-simbol yang dinilai ampuh untuk dapat memobilisasi rakyat digunakan oleh kelompok-kelompok kecil ini demi memaksakan kehendak mereka di era reformasi ini. Semua ini terjadi baik disadari maupun tidak oleh para elit yang memang sedang mengidap “myopia politik” yakni hanya berorientasi pada Pemilu bukan pada tujuan jangka panjang. Dengan demikian semua arah moral bangsa praktis dikuasai oleh kelompok kecil yang cenderung bersifat partisan dan primordial (Wirutomo,2001:6). Namun kita masih bisa berharap karena masih melihat adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menampilkan karakter yang baik, misalnya bersifat altruistik, nasionalis, inklusif, universalistik, dan sebagainya. Aspirasi ini sesungguhnya banyak didukung oleh masyarakat luas (silent majority), tetapi gerakan-gerakan sosial yang memperjuangkan nilai-nilai ini masih lemah dan sporadik. Mereka belum bergabung dalam jaringan yang solid dan mampu melakukan gebrakan besar yang berskala nasional, sehingga cenderung tenggelam oleh gerakan yang punya dana.
Kedua, sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini adalah akibat munculnya kebencian sosial budaya terselubung (socio-cultural animosity). Gejala ini muncul dan semakin menjadi-jadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Ketika rezim Orde Baru berhasil dilengserkan, pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orde Baru dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas menjadi konflik antarsuku, antarumat beragama, kelas sosial, kampung, dan sebagainya. Sifatnya pun bukan vertikal antara kelas atas dengan kelas bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antarsesama rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (bukan fungsional tetapi disfungsional), sehingga kita menjadi sebuah bangsa yang menghancurkan dirinya sendiri (self destroying nation).
Ciri lain dari konflik yang terjadi di Indonesia adalah bukan hanya yang bersifat terbuka (manifest conflict) tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah konflik yang tersembunyi (latent conflict) antara berbagai golongan. Socio-cultural animosity adalah suatu kebencian sosial budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya dan perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik terselubung ini bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung di hampir seluruh pranata sosialisasi di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik, dan sebagainya).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebencian sosial budaya terselubung ini sangat berhubungan dengan pluralitas negara-bangsa Indonesia. Contoh nyata hancurnya Yugoslavia akibat semakin menipisnya in-group feeling di antara etnis yang ada, sementara katup penyelamat (safety valve institution) untuk mengurai kebencian sosial budaya terselubung tidak bekerja efektif. Namun hal ini bukan faktor penentu, karena banyak masyarakat plural yang lain bisa membangun platform budaya yang mampu menghasilkan kerukunan antaretnis pada derajat yang cukup mantap. Sebagai contoh masyarakat Malaysia dengan konsep pembangunan sosial budayanya telah berhasil menyiptakan civic culture sebagai kesepakatan budaya untuk membangun kerukunan antarkelompok rasial dan agama. Konflik politik sekeras apapun yang terjadi di Malaysia, tidak pernah mengusik kesepakatan ini (Wirutomo,2001:7). Berbeda halnya dengan yang terjadi di Indonesia bahwa setiap perbedaan pandangan politik selalu ditarik lagi kepada faktor perbedaan budaya yang paling mendasar (terutama agama). Inilah yang membuat persoalan politik tidak pernah mudah diselesaikan.
Jika menengok pada proses integrasi bangsa Indonesia, persoalannya terletak pada kurangnya mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif) dan lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif). Atas dasar kenyataan demikian maka cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan masa lalu. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis yang memiliki karakter ke-Indonesiaan yang adaptif di era global.
Era globalisasi yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat pesat, terutama teknologi informasi dan komunikasi, telah mengubah dunia seakan-akan menjadi kampung dunia (global village). Dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas negara. Kondisi yang demikian itu berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di samping itu, dapat pula mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak seluruh masyarakat Indonesia. Fenomena globalisasi telah menantang kekuatan penerapan unsur-unsur karakter bangsa. Kenichi Ohmae dalam bukunya yang berjudul Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy (1999) dan The End of Nation State: The Rise of Regional Economies (1996) mengatakan bahwa dalam perkembangan masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam arti geografis dan politik relatif masih tetap. Namun kehidupan dalam suatu negara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global yang berupa informasi, inovasi, dan industri yang membentuk peradaban modern.

III. MEMBANGUNAN BUDAYA DAN KARAKTER KE-INDONESIAAN
Peradaban modern yang lahir dari ibu kandung globalisasi ternyata menimbulkan sejumlah persoalan dan kekecewaan. Eric Fromm (1997:24-30) menjelaskan perkembangan Eropa sebagai perkembangan peradaban modern. Tema sentral perkembangan peradaban modern ini menurut pendapatnya adalah timbulnya kebebasan (freedom), yang terjadi pada level individu maupun masyarakat. Pada level individu kebebasan itu diawali timbulnya self (diri) dalam proses individuation, ialah lepasnya tali-tali individu sejak terputusnya “tali ari-ari” sampai mulai timbulnya rasa keterpisahan antara bayi dan ibunya, dan pada umumnya pemisahan ‘aku’ dengan ‘engkau’. Ketidakterpisahan antara individu dan lingkungannya (atau adanya tali-tali tadi), memberikan kepada individu perasaan aman (security feeling), perasaan kebersatuan (belongingness) dan perasaan bahwa ia mengakar (rooted) pada sesuatu. Diperolehnya kebebasan oleh individu itu berarti hilangnya ketiga tali-tali itu yang berganti dengan kekhawatiran (anxiety), ketidakberdayaan (powerless), kemenyendirian (aloneless), keterombang-ambingan (uprootedness), keraguan (doubt) yang kesemuanya itu bermuara pada sikap permusuhan (hostility). Siklus individuasi itu terjadi pada setiap individu, pada setiap saat, dan di setiap tempat.
Perkembangan kepribadian pada level masyarakat juga menentukan proses individuation sepanjang sejarah, yang dalam masyarakat Barat merupakan hasil perjuangan, yang dapat disebut hasil perjuangan kebebasan. Seperti pada level individu, kebebasan ini juga berupa putusnya tali-tali terhadap segala macam kekuasaan: gereja, negara, dan eksploitasi ekonomi. Sebagaimana pada level individu, kebebasan atau putusnya tali-tali itu disertai pula dengan kegelisahan (anxiety), kehilangan kekuatan (powerless), kemenyendirian (aloneless), tidak mengakar (uprootedness), keragu-raguan (doubt), dan permusuhan (hostility).
Melalui proses kebebasan itu, Fromm melukiskan timbulnya sistem kapitalisme, yang terjadi pada abad ke-15 (abad pertengahan atau abad kegelapan) dan abad ke-16 (abad Reformasi Gereja atau timbulnya Protestanisme). Kapitalisme pada abad ke-15 mula-mula berkembang di Italia, yang antara lain disebabkan laut Merah menjadi jalur kegiatan perdagangan Eropa, dan dekatnya ke Dunia Timur (termasuk Arab/Islam), sehingga kebudayaan Timur dapat diboyong ke Eropa. Kapitalisme yang timbul adalah kapitalisme bangsawan. Perekonomian dilakukan di atas landasan etik yang kuat (persaudaraan) dan sedikit sekali persaingan. Akibatnya akumulasi kapital berjalan sangat lambat. Walaupun demikian dalam sistem perdagangan tersebut kapital telah berkedudukan sebagai majikan.
Sejak abad ke-16, yakni tatkala Reformasi Gereja, kelas menengah menjadi mencuat ke atas sebagai akibat lecutan Luther dan Calvin, mereka mendambakan harta kekayaan (sebagai simbol keberhasilan). Ajaran mereka yang terpenting adalah kemandirian dan mengandalkan usaha sendiri dengan berjerih payah. Inilah segi positif dari kapitalisme sebagaimana dilecut oleh Protestanisme, yang tema sentralnya adalah kebebasan. Namun segi negatifnya, sebagaimana diungkapkan di muka adalah terjadinya perasaan tidak aman (insecurity feeling), kegelisahan (anxiety), kehilangan kekuatan (powerless), dan sebagainya.
Dari analisis itu Fromm menyimpulkan bahwa disamping orang membutuhkan kebebasan (freedom), ia juga memerlukan ketergantungan (dependensi atau submissiveness). Akibat kebutuhan submissiveness itu tidak terpenuhi, maka kebebasan menjadi tidak bermakna lagi. Maka timbulah mekanisme untuk melarikan diri dari kebebasan atau escape from freedom berupa melukai diri sendiri (masochism), melukai orang lain (sadism), melenyapkan objek atau saingan (destructiveness), dan mengekor secara serempak (automaton) (Budimansyah,2004:27).
Demikianlah kapitalisme Barat dan masyarakat modern sebagaimana diterangkan Fromm. Mereka memiliki karsa (will) yang kuat (seperti kemandirian, percaya diri, jerih payah), akan tetapi tercipta pula masyarakat yang goyah. Kegagalan itu ditimbulkan oleh tiadanya ketenangan batin (insecurity feeling) akibat melupakan nilai-nilai agama.
Kekecewaan akan peradaban modern telah menghasilkan suatu impian untuk menyiptakan suatu masyarakat baru dengan moralitas baru (lihat misalnya Giddens dalam “The Third Way” 1998, Etzioni dalam “The Spirit of Community” 1993, Robert Bellah dalam “The Good Society” 1992). Namun demikian, sampai akhir abad ke-20, sekalipun telah lahir berbagai organisasi warganegara yang sukarela dan mandiri (seperti LSM, organisasi massa, dan organisasi politik), peradaban manusia di dunia masih diwarnai berbagai kekejaman terhadap manusia dan lingkungannya. Ternyata kunci dari kesejahteraan manusia bukan semata-mata terletak pada terciptanya hubungan yang seimbang antara negara dan masyarakat, tetapi yang lebih mendasar adalah moralitas baru (baca: karakter baru) perlu dihembuskan kedalam sistem modern tersebut.
Suatu tuntutan moralitas baru misalnya telah diteriakan oleh Revolusi Prancis: “liberte, egalite, fraternite” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), tetapi sampai saat ini tampaknya hanya “kebebasan” yang diperoleh, sedangkan “persamaan” masih jauh tertinggl. Ini terutama disebabkan karena moral “persaudaraan” hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam peradaban modern ini. Rupa-rupanya hal yang sama terjadi dalam reformasi kita. Semua golongan mabuk kebebasan, sementara semangat persaudaraan sebagai bangsa semakin terpuruk dan akibatnya persamaan dan keadilan sulit untuk diwujudkan. Mengingat akan hal itu penulis berpendapat bahwa inti dari karakter ke-Indonesiaan yang masih harus kita bangun dalam masyarakat kita adalah “persaudaraan” sebagai sikap moral baru.
Hadirin yang saya hormati
Tokoh lain Robert Bellah (1999), seorang sosiolog Amerika Serikat juga menekankan pentingnya kebangkitan moral baru yang mampu melandasi pranata sosial dan menghasilkan hubungan sosial yang lebih baik antara masyarakat dan negara maupun antarwarganegara sendiri. Ia mengatakan bahwa semua kejadian yang telah merendahkan martabat manusia adalah hasil dari pilihan-pilihan kita (social choices) yang kemudian kita bakukan dalam pranata sosial. Untuk merombaknya perlu dilakukan sesuatu pemilihan-pemilihan yang baru, ini membutuhkan suatu sistem nilai, karena semua pilihan memiliki landasan moral dan etika.
Menganalaisis pranata-pranata sosial berarti mempertanyakan: “bagaimana kita seharusnya hidup?” dan “bagaimana kita berpikir tentang bagaimana kita hidup?”. Pranata-pranata sosial yang telah mengatur bagaimana kita hidup ternyata berjalan kurang baik atau tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya kita inginkan (ideal values). Jadi ideal values hanya tersimpan dalam khasanah budaya kita, tapi tidak secara efektif mengatur perilaku kita di dalam pranata sosial yang ada (Wirutomo,2001:17).
Kekecewaan terhadap peradaban modern juga diungkapkan oleh seorang sosiolog Amerika Serikat lainnya yang bernama Amitai Etzioni (1993) dengan memberi contoh masyarakat negaranya sendiri, Amerika Serikat. Masyarakat Amerika Serikat, menurut Etzioni, perlu mengembangkan nilai keakuannya (individualisme) yang telah berakar pada budaya mereka dengan nilai-nilai ke-kitaan yang bersifat komunitarian. Dengan kata lain harus adanya keseimbangan antara hak (yang berorientasi pada keakuan) dan kewajiban (yang berorientasi pada hak orang banyak). Pemikiran ini sangat relevan untuk mengoreksi fenomena yang terjadi pada masyarakat kita yang sejak masa penjajahan sampai masa Orde Baru selalu dilecehkan hak-haknya oleh pemerintah dan negara, dalam masa reformasi ini sekonyong-konyong mengidap gejala “strong sense of entitlement” yaitu cenderung menuntut hak (bila perlu secara paksa dan kekerasan) tetapi segan menerima kewajiban bagi kepentingan umum.
Etzioni menyadari terbentuknya masyarakat komunitarian hanya dapat terwujud melalui suatu gerakan sosial yang sistematis. Itulah sebabnya ia bersama kelompoknya mencanangkan kebulatan tekad gerakan “komunitarian” sebagai berikut:
1. Kita harus mampu menyiptakan suatu moralitas baru yang tidak mengganggu kehidupan pribadi orang (sikap anti puritanisme).
2. Kita harus mempertahankan suatu “hukum dan keteraturan” tanpa harus jatuh pada suatu “negara polisi” dengan merancang secara hati-hati kewenangan dan kekuasaan pemerintah.
3. Kita harus menyelamatkan kehidupan keluarga tanpa harus membatasi hak anggotanya secara diskriminatif (misalnya memaksakan peran domestik kepada perempuan).
4. Sekolah harus mampu memberikan pendidikan moral, tanpa mengindoktrinasi anak muda.
5. Kita harus memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi orang fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain.
6. Kita harus meningkatkan tanggung jawab sosial bukan sebagai suatu pembatasan hak-hak kita, tetapi justru sebagai perimbangan dari hak-hak yang kita peroleh. Semakin besar hak yang diterima, semakin besar pula kewajiban yang perlu ditanggung.
7. Perjuangan kepentingan pribadi harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas, tanpa harus menjadi tumbal bagi kelompok. Oleh karena itu kerakusan individu yang tanpa batas harus diganti dengan “kepentingan pribadi” yang bermanfaat secara sosial dan memperoleh peluang yang disahkan oleh masyarakat.
8. Kewibawaan pemerintah harus dijaga tanpa menghilangkan kesempatan bagi semua warga menyampaikan pendapat dan kepentingannya.

Semua itu adalah inti dari sikap moral komunitarian yang ditawarkan oleh Etzioni, yakni kesepakatan manusia modern untuk menyiptakan moral baru, kehidupan sosial, dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan kembali nilai “kebersamaan”, tanpa adanya puritanisme dan penindasan. Semangat mengembangkan moral baru bagi peradaban modern yang telah mengalami kegagalan ini juga tampak dari pemikiran Giddens dalam “The Third Way” dimana ia memperjuangkan demokrasi sosial yang berintikan solidaritas, kesamaan dan keamanan serta peran aktif negara (Wirutomo,2001:19).
Konsep karakter ke-Indonesiaan yang saya maksudkan dalam pidato ini pada dasarnya mengacu pada sikap moral komunitarian yang bercorak kepribadian Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan norma yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Membangun karakter ke-Indonesiaan dengan demikian merupakan suatu proses memberikan posisi warganegara yang lebih mandiri terhadap negara, membina etos demokrasi yang bukan sekedar menekankan hak individual dan supremasi hukum, tetapi terutama menekankan pada pembenahan moral hubungan antarwarganegara itu sendiri, penanaman nilai kerukunan yang menghasilkan kepedulian terhadap semua warganegara dan nasib seluruh bangsa.

IV. PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata pelajaran di Sekolah Dasar yang memiliki tugas professional untuk membina siswa agar menjadi generasi penerus yang…… dalam konteks pembinaan generasi muda menjadi seorang warganegara dewasa. Anak adalah warganegara hipotetik, yakni warganegara yang “belum jadi” karena masih harus dididik menjadi warganegara dewasa yang sadar akan hak dan kewajibannya (Budimansyah,2007:11). Oleh karena itu masyarakat sangat mendambakan generasi mudanya dipersiapkan untuk menjadi warganegara yang baik dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan negaranya. Keinginan tersebut lebih tepat disebut sebagai perhatian yang terus tumbuh, terutama dalam masyarakat demokratis. Banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa tak satu pun negara, termasuk Indonesia, telah mencapai tingkat pemahaman dan penerimaan terhadap hak-hak dan tanggung jawab di antara keseluruhan warganegara untuk menyokong kehidupan demokrasi konstitusional.
Seluruh rakyat hendaknya menyadari bahwa PKn sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan demokrasi konstitusional. Sebagaimana yang selama ini dipahami bahwa ethos demokrasi sesungguhnya tidaklah diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami. Sebagaimana ditegaskan Alexis de Toqueville (Branson, 1998:2):
“...each new generation is a new people that must acquire the knowledge, learn the skills, and develop the dispositions or traits of private and public character that undergird a constitutional democracy. Those dispositions must be fostered and nurtured by word and study and by the power of example. Democracy is not a "machine that would go of itself," but must be consciously reproduced, one generation after another”.
Kutipan tersebut di atas menegaskan bahwa setiap generasi adalah masyarakat baru yang harus memperoleh pengetahuan, mempelajari keahlian, dan mengembangkan karakter atau watak publik maupun privat yang sejalan dengan demokrasi konstitusional. Sikap mental ini harus dipelihara dan dipupuk melalui perkataan dan pengajaran serta kekuatan keteladanan. Demokrasi bukanlah “mesin yang akan berfungsi dengan sendirinya”, tetapi harus selalu secara sadar direproduksi dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Oleh karena itu, PKn seharusnya menjadi perhatian utama. Tidak ada tugas yang lebih penting dari pengembangan warganegara yang bertanggung jawab, efektif dan terdidik. Demokrasi dipelihara oleh warganegara yang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan karakter yang dibutuhkan. Tanpa adanya komitmen yang benar dari warganegara terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka masyarakat yang terbuka dan bebas, tak mungkin terwujud. Oleh karena itu, tugas bagi para pendidik, pembuat kebijakan, dan anggota civil society lainnya, adalah mengkampanyekan pentingnya PKn kepada seluruh lapisan masyarakat dan semua instansi dan jajaran pemerintahan.
Sampai saat ini PKn sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value-based education”. Konfigurasi atau kerangka sistemik PKn dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut (Budimansyah,2008:180).
Pertama, PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Kedua, PKn secara teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Ketiga, PKn secara programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content-embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.
Namun sejak diimplementasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan (persekolahan maupun perguruan tinggi), PKn menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah: (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru/dosen serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar, dan (2) masukan lingkungan (environmental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis. Dengan demikian, pelaksanaan PKn tidak mengarah pada misi sebagaimana seharusnya. Beberapa indikasi empirik yang menunjukkan salah arah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan pada dampak instruksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja. Sedangkan pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effects) sebagai “hidden curriculum” belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Kedua, pengelolaan kelas belum mampu menyiptakan suasana kondusif dan produktif untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa/mahasiswa melalui perlibatannya secara proaktif dan interaktif baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas (intra dan ekstra kurikuler) sehingga berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) untuk mengembangkan kehidupan dan perilaku siswa/mahasiswa.
Ketiga, pelaksanaan kegiatan ekstra-kurikuler sebagai wahana sisio-pedagogis untuk mendapatkan “hands-on experience” juga belum memberikan kontribusi yang signifikan untuk menyeimbangkan antara penguasaan teori dan praktek pembiasaan perilaku dan keterampilan dalam berkehidupan yang demokratis dan sadar hukum.
Indikasi-indikasi tersebut melukiskan begitu banyaknya kendala kurikuler dan sosial-kultural bagi PKn untuk menghasilkan suatu totalitas hasil belajar yang mencerminkan pencapaian secara komprehensif (menyeluruh) dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang koheren dan konfluen. Hasil belajar PKn yang belum mencapai keseluruhan dimensi secara optimal seperti digagaskan itu berarti menunjukkan bahwa tujuan kurikuler PKn belum dapat dicapai sepenuhnya.
Selain menghadapi kendala internal sebagaimana diuraikan di atas, PKn juga menghadapi kendala eksternal yaitu kritikan dan tuntutan dari berbagai lapisan masyarakat berkaitan dengan semangat demokratisasi yang semakin meningkat dengan segala eksesnya. PKn yang secara paradigmatik sarat dengan muatan afektif namun dilaksanakan secara kognitif telah disikapi secara keliru sebagai satu-satunya obat mujarab (panacea) untuk mengatasi persoalan kehidupan para siswa khususnya yang menyangkut perilaku dan moral. Namun demikian, kritikan dan tuntutan tersebut sudah seharusnya direspons dan diakomodasikan secara proporsional karena memang pendidikan secara umum dan PKn secara khusus bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja tetapi juga tanggung jawab seluruh komponen masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Tanggung jawab bersama untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas pada hakikatnya merupakan perwujudan dari amanat nasional.
Kendala eksternal lainnya yaitu pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan dan situasi global yang berkembang cepat setiap waktu baik yang bermuatan positif maupun yang bermuatan negatif atau bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam merancang program pendidikan yang mengakomodasikan kecenderungan dan persoalan global tersebut berarti akan menghilangkan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan untuk secara bertahap dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang sudah maju dalam bidang pendidikannya.
V. PENUTUP
Untuk menjawab semua persoalan tadi penulis mengajukan sebuah gagasan untuk mereposisi PKn kedalam tiga peran. Pertama, PKn sebagai program kurikuler di lembaga pendidikan formal (sekolah/perguruan tinggi) maupun nonformal (luar sekolah), yang berperan sebagai wahana pemuliaan dan pemberdayaan anak dan pemuda sesuai dengan potensinya agar menjadi warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Pemikiran ini didasari oleh asumsi bahwa untuk mendidik anak menjadi warganegara yang cerdas dan baik harus dilakukan secara sadar dan terencana dalam suatu proses pembelajaran agar mereka secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Proses pembinaan warganegara yang melibatkan aspek psikopedagogis ini saya namakan pendekatan psycho-paedagogical development.
Kedua, PKn sebagai gerakan sosio-kultural kewarganegaraan yang berperan sebagai wahana aktualisasi diri warganegara baik secara perorangan maupun kelompok sesuai dengan hak, kewajiban, dan konteks sosial budayanya, melalui partisipasi aktif secara cerdas dan bertanggung jawab. Pemikiran ini didasari oleh asumsi bahwa kewarganegaraan bertalian dengan masyarakat, karena disamping secara historis konsep tersebut tumbuh bersamaan dengan perkembangan identitas manusia sebagai makhluk sosial politik, juga disebabkan oleh adanya usaha mewujudkan orde sosial yang baik dan diharapkan (desirable) melalui penguatan nilai-nilai dalam masyarakat. Karena yang dibangun dalam gerakan sosio-kultural kewarganegaraan itu pranata sosial yang berunsurkan sistem nilai dan norma, maka masyarakat dan komunitas dalam hal ini perlu menyediakan ruang publik bagi warganegara untuk ber-PKn (doing PKn). Analisis sosiologis terhadap perkembangan masyarakat kita dewasa ini menunjukkan bahwa akar dari berbagai masalah sosial budaya ini dapat digolongkan kedalam empat masalah dasar yang perlu menjadi agenda dalam gerakan sosio-kultural kewarganegaraan, yakni masalah kerukunan, kepedulian, kemandirian, dan demokrasi. Proses pembinaan warganegara yang melibatkan pranata sosial yang berunsurkan sistem nilai dan norma ini saya namakan pendekatan socio-cultural Development.
Ketiga, PKn sebagai program pendidikan politik kebangsaan bagi para penyelenggara negara, anggota dan pimpinan organisasi sosial dan organisasi politik yang dikemas dalam berbagai bentuk pembinaan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan kebajikan kewarganegaraan (civic disposition) yang mengacu pada prinsip konseptual-pedagogis untuk mengembangkan daya nalar (state of mind), bukan wahana indoktrinasi politik, dan sebagai suatu proses pencerdasan. Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa peran negara dalam membina warganegara tidak dapat dihilangkan dengan menguatnya masyarakat civil (civil society). Negara sebagai suatu organisasi puncak memiliki kekuasaan untuk meningkatkan partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warganegara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional. Partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan yang penting diantaranya (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakater dan sikap mental tertentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar demokrasi konstitusional. Proses pembinaan warganegara melalui pendidikan politik kebangsaan ini saya namakan pendekatan socio-political intervention.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa untuk membangun karakter bangsa, PKn harus memainkan peran sebagai program kurikuler pada lembaga pendidikan formal maupun nonformal, sebagai gerakan sosio-kultural kewarganegaraan, dan sebagai pendidikan politik kebangsaan bagi para penyelenggara negara, pimpinan dan anggota organisasi sosial dan organisasi politik. Ketiga peran tersebut harus dilihat sebagai satu kesatuan. Program kurikuler merupakan pembuka cakrawala kewarganegaraan, gerakan sosio-kultural sebagai pendobrak sekat-sekat kewarganegaraan, dan pendidikan politik kebangsaan merupakan penegas partisipasi kewarganegaraan.

DAFTAR PUSTAKA


Branson, M.S. 1998. The Role of Civic Education, A Fortcoming Education Policy Task Force Position Paper From the Communitarian Network.
Budimansyah, D. (2004). Membangkitkan Karsa Umat, Bandung: Penerbit Genesindo Pustaka Utama.

Budimansyah, D. 2007. “Pendidikan Demokrasi Sebagai Konteks Civic Education di Negara-negara Berkembang”, Jurnal Acta Civicus, Vol.1 No.1, hlm.11-26.

Budimansyah, D. 2008. “Revitalisasi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Melalui Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen)”, Jurnal Acta Civicus, Vol.1 No.2, hlm.179-198.

Etzioni, A. 1993. The Spirit of Community: The Reinvention of American Society, New York: Simon and Schuster.

Fromm, E. 1997. Lari Dari Kebebasan, penerjemah Khamdani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Giddens, A. 1998. The Third Way: The Renewal of Social Democracy, London: Polity Press.

Kaelan. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UGM Unipress

Kalidjernih, F.K. 2008. “Cita Sipil Indonesia Pasca-Kolonial: Masalah Lama, Tantangan Baru”, Jurnal Acta Civicus, Vol.1 No.2, hlm.127-146.

Ohmae, K. 1996. The End of Nation State: The Rise of Regional Economies, London: Harper Collins.

Ohmae, K. 1999. Borderless World: Power and Strategy In The Interlinked Economy, London: Harper Collins.

Parker,W.C., Nomiya, A., and Cogan, J. 1999. Educating World Citizen: Toward Multinational Curriculum Development, Washington: University Washington Press.

Raka, I.I.D.G. 2008. Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa: Menengok Kembali Peran Perguruan Tinggi, Bandung: Majelis Guru Besar ITB.

Soepardo, dkk. 1960. Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civics), Jakarta: Departemen PP Dan K.

Sukarno. 1965. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.

Subroto, Waspodo Tjipto. 2006. Bahan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Di Sekolah Dasar. Surabaya: Unesa Unipress

Suhanaji dan Subroto, Waspodo Tjipto. 2004. Pengetahuan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial. Surabaya: Insan Cendikia.

Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. 2007. Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas, Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.

Wirutomo, P. 2001. Membangun Masyarakat Adab, Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar tetap Dalam Bidang Sosiologi Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.